Mengenal lebih dalam Karomah Para Wali melalui Peringatan Haul Tuan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani.

Peringatan Haul Tuan Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sudah menjadi tradisi tahunan yang biasa digelar di setiap pondok pesantren, majlis ta’lim bahkan masyarakat umum. Peringatan haul tuan syekh abdul qodir itu sendiri bagi umat Islam di Indonesia, khususnya di pulau jawa telah menjadi suatu budaya, yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan haul tuan syekh abdul qodir itu menambah khazanah pengetahuan kebudayaan dan memperkaya kearifan lokal di tanah air republik Indonesia.

Umat Islam Indonesia khususnya yang menganut aqidah ahlu sunnah wal jamaah meyakini bahwa setiap wali Allah selalu memiliki karomah/keistimewaan. Yang mana karena kesucian hamba Allah yang diberikan keistimewaan tersebut diyakini dekat dengan Allah Swt, terlalu pajang jika menceritakan kisah perjalanan hidup sang sultonul auliya/rajanya para wali ini, yaitu syekh abdul qodir al-jaelani jika diceritakan pada tulisan ini, akan tetapi penulis hanya ingin menuangkan beberapa nilai yang terkandung pada pelaksanaan peringatan haul tuan syekh abdul qadir al-jailani yang biasa digelar setiap tahunnya serta menjawab berbagai tudingan sesat terhadap jamaah yang mengikuti peringatan haul tuan syekh abdul qodir al-jaelani.

Berbagai rentetan kegiatan yang digelar pada peringatan haul tuan syekh abdul qodir al-jaelani diantaranya yaitu, tawasul, istigotsah, pembacaan manaqib syekh abdul qodir al-jaelani, dan doa bersama. Tawasul sendiri makna aslinya adalah mendekatkan diri. Hal ini seperti dalam At-Thabari: “saya bertawasul kepada si fulan,”maka maknanya ‘saya mendekatkan diri kepada si fulan’. Sementara ibn katsir mengartikan tawasul sebagai sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Dari keterangan di atas, bahwa maksud dari tawasul disini adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui pelantara Wali Allah, karena penganut aqidah ahlus sunnah meyakini bahwa doa yang dipanjatkan melalui wasilahnya para Wali Allah akan mudah dikabulkan, terkadang ada dari beberapa golongan lain yang menganggap bahwa bertawasul adalah hal sesat dan menyekutukan Allah, karena memohon kepada selain Allah. Dari segi makna pun sudah jelas bahwa tawasul dapat diartikan sebagai pelantara.

Dalam acara peringatan haul syekh abdul qodir juga terdapat pembacaan manaqib syekh abdul qodir al-jaelani, secara etimologis, kata ‘Manaqib’ merupakan jamak dari kalimah isim, ‘manqobah’ yang mempunyai banyak makna, diantaranya: dinding, lorong di antara dua rumah, kebajikan atau perbuatan terpuji, dan sifat yang terpuji. dari beragam makna dari kata manaqib tersebut, maka ‘manaqib’ dalam konteks manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani ini adalah kisah tentang kebajikan dan sifat yang sangat terpuji. maksudnya adalah bahwa manaqib syekh abdul qodir ini merupakan upaya untuk menuturkan atau mengisahkan tentang kebajikan, sifat dan amaliah terpuji syekh abdul qodir al-jaelani.

Terdapat dua nilai di balik tradisi pembacaan manaqib, pertama nilai moral-intelektual yang terkandung dalam kitab manaqib syekh abdul qodir, nilai moral dan intelektual yang terkandung dalam kitab manaqib syekh abdul qodir adalah menelaah sebuah sejarah dari orang-orang sholeh, yang mana dengan membaca dan mempelajari kisah perjalanan kehidupan dari orang sholeh, salah satunya yaitu syekh abdul qodir yang diyakini sebagai rajanya para wali Allah, tentu memberikan pelajaran bagi umat  islam yang membacanya dan dapat menambah khazanah keilmuan dari aspek sejarah serta dapat dijadikan nilai moral bagi pengamal dan pengikut jalan hidup para wali Allah. Hal ini selaras dengan hadist Nabi Muhammad Saw: “mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang saleh adalah kafarat (penghapus dosa), mengingat kematian adalah shadaqoh dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga.”(HR. Ad-Dailami)

Lebih lanjut Habib Umar Muthohhar dalam sebuah ceramahnya menyatakan bahwa kisah para wali, orang saleh dan para ulama akan menjadi tentara untuk membuka hati kita. Di balik kisah para orang saleh dan ulama, sambung habib umar, terdapat hikmah yang dapat dipetik, bermanfaat sebagai obat hati yang gundah, sumber keceriaan, dan penyejuk jiwa. Jadi keteladanan orang-orang saleh terdahulu, yang dikenal kesalehannya merupakan sumber kekuatan untuk membangkitkan hati, khususnya ketika kondisi seseorang sedang terpuruk.

Alawi al-Haddad menegaskan dalam sebuah pernyataannya, “ketahuilah! Seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugerah, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di depan para wali, di majlis-majlis dan kumpulan mereka, baik yang masih hidup atau pun sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka”.

Nilai kedua dari tradisi pembacaan manaqib syekh abdul qodir yaitu mengandung nilai spiritual. Pembacaan manaqib ini sebenarnya merupakan jenis tawasul kepada syekh abdul qodir, supaya melalui perantara Syekh Abdul Qadir itu, doa-doa kita dikabulkan oleh Allah Swt. Dengan membaca manaqib menunjukkan kita mencintai Syekh Abdul Qadir. Cinta kita kepada Syekh Abdul Qadir yang ditunjukkan melalui pembacaan manaqib itu merupakan wasilah bagi kita untuk mencapai rahmat dan kasih sayang Allah. Jadi yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tawasul itu bukan untuk meminta kepada orang yang kita tawasuli melainkan sekedar menjadikan orang itu sebagai wasilah /perantara kita untuk menuju Allah. Karenanya yang menjadi tujuan utama dalam tawasul itu tiada lain adalah Allah, bukan sosok yang kita jadikan sebagai perantara.

Dalam kitab manaqib syekh abdul qadir yang banyak ditulis oleh beberapa ulama di Nusantara, salah satunya yaitu kitab jauharul ma’ani yang disusun oleh KH. Jauhari Umar. Ada pertanyaan yang diutarakan oleh seseorang yang kontra terhadap keabsahan cerita supranatural syekh abdul qadir bahwa kisahnya yang ditulis terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. KH. Mustofa Bisri menjawab pertanyaan dari orang tersebut, bahwa jika mempertanyakan cerita-cerita yang dianggap tidak masuk akal, sebaiknya jangan berhenti sampai pada kisah syekh abdul qadir al-jailani, tetapi teruskanlah! Misalnya, cerita sahabat Umar bin Khattab berkirim surat kepada Sungai Nil, sahabat umar bin Khattab emberi komando dari madinah kepada prajurit-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari madinah. Cerita tentang Isra Mikraj, tentang tongkat menjadi ular, cerita tentang gunung yang pecah, kemudian keluar unta yang besar dan sedang bunting, cerita tentang Nabi Isa yang menghidupkan orang yang sudah mati. Nabi sulaiman dibuat menjadi bisa oleh Allah untuk memindahkan Arsy Balqis dalam QS. An-Naml, [27]:40: “berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala sulaiman melihat singgasananitu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencobaku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Ku). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya Dia bersyukur untuk kebaikan diri sendiri dan barangsiapa yang imgkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia. Ayat tersebut menunjukan bahwa manusia selain Nabi Muhammad Saw mampu menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal, maka hal demikianlah yang disebut dengan karomah para Wali Allah begitu juga karomah yang dimiliki oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani sebagai rajanya para wali. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.

Dan salah satu rentetan acara dalam peringatan haul tuan syekh abdul qadir adalah doa bersama, maka munculah pertanyaan yang dialamtkan kepada mazhab yang selalu bertawasul dalam memanjatkan doanya. Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah secara langsung atau dengan perantara (tawasul)?. Maka KH. Mustofa Bisri memberikan jawaban yang sederhana, ia menjawab, “Langsung boleh. Dengan perantara pun boleh. Sebab Allah Ta’ala Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Kamu Jangan mengira bahwa tawasul kepada Allah melalui Nabi-nabi, wali-wali itu sama dengan kamu memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantara kepala kantor atau atasan kamu. Pengertian tawasul yang demikian itu tidak benar, sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga di samping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, kamu juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawasul kepada Allah tidak seperti itu! Sebagai analogi berdoa menggunakan cara tawasul melalui nabi-nabi dan wali-wali adalah seperti orang membaca al-quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al-quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.