PERJUANGAN ULAMA DAN UMARO DALAM MENDIDIK UMAT

Islam adalah agama yang komprehensif, semua lini kehidupan terpusat pada satu napas perjuangan dalam mengabdikan diri sebagai hamba Allah, untuk melestarikan tatanan kehidupan yang stabil dan berkeadilan di muka bumi ini, semata-mata guna meraih ridhoNya di hari akhir kelak. Maka sangat keliru jika aspek agama dipisahkan dengan aspek politik, seolah-olah tambuk kepemimpinan di suatu Negeri hanya untuk kalangan politisi, dan tidak ada ruang bagi para kiai yang identik dengan kehidupannya sekadar mengurus jamaah pengajian. Baginda Besar Rasulallah Saw sebagai tokoh sentral umat Islam, sebagai teladan bagi pengikutnya yang telah memberikan contoh kepada dunia bahwa Ia selain sebagai Rasul/utusan Allah untuk menyebarluaskan ajaran Islam dalam hal tauhid, tetapi beliau juga tercatat dalam sejarah dunia sebagai tokoh saudagar dan pemimpin yang amanah dan adil. Itulah yang menjadi salah satu indikator bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif.

Pada prinsipnya, pemimpin suatu negeri adalah orang-orang yang memiliki komitmen dan mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, serta mampu menjamin suatu keadilan di setiap kebijakan yang diputuskan olehnya. Karena keamanan suatu negara bergantung pada tingkat kesejahteraan yang diperoleh oleh masyarakatnya serta keadilan yang mereka dapatkan dari kebijakan yang diputuskan oleh pemimpinnya. Jika keadilan dan kesejahteraan di suatu negara tidak terwujud, maka sama dengan memimpin untuk menghancurkan Negara yang dia pimpin.

Untuk mewujudkan tatanan suatu Negara yang berkeadilan dan berkemajuan, khususnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Negara yang terdiri dari berbagai pulau ini, yang terbentang luas dari sabang sampai merauke, maka tidak mudah dalam menyatukan satu pandangan untuk mewujudkan sebuah keadilan dan kesejahteraan di Indonesia, kecuali pemerintah mampu berjalan dan berdampingan secara bersamaan dengan para pemuka agama di Indonesia. Politik tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam, bahkan Allah memerintahkan untuk ikut andil dalam urusan politik. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Firman Allah pada ayat di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk tidak meniggalkan dunia politik, sebab untuk mewujudkan suatu keadilan, kebijakan, melarang dari perbuatan keji dan mungkar di Negara Indonesia, hanya dapat dilakukan jika kita memiliki legalitas kekuasaan yang berhak secara hukum untuk memberikan keadilan dan menjamin kesejahteraan di Negara Indonesia, baik itu sebagai pimpinan dewan legislatif ataupun eksekutif.

Terlalu banyak dalil-dalil alquran dan hadist Nabi yang menerangkan tentang anjuran umat Islam untuk berpolitik, dari berbagai sangkalan dan kekeliruan yang diungkapkan oleh para tokoh yang tidak mengetahui ajaran islam secara utuh, yang memisahkan antara agama dan politik suatu negeri. Cukup dengan satu Hadit Nabi yang diriwayatkan oleh Baehaqi sebagai jawaban dari kekeliruan yang mengungkapan bahwa agama tidak ada korelasinya dengan dunia politik, yang mana salah satu agama yang menjadi agama mayoritas di Indonesia adalah agama Islam, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Susungguhnya aku diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan Akhlak”

Hadist di atas menjelaskan secara rinci untuk berbagai aspek bidang kehidupan. Mengapa Islam membicarakan tentang rumah tangga, tiada lain yaitu agar kehidupan rumah tangga tersebut berakhlak Al-Qur’an. Dari aspek dunia perekonomian, mengapa Islam pun membahas tentang dunia ekonomi, maka jawabannya adalah agar pelaku ekonomi berakhlak Islam, tidak mengurangi timbangan dalam perniagaannya, berperilaku jujur pada produk barang yang diperjual belikan, dan lain sebagainya. Begitu juga islam membicarakan soal politik, agar mereka para pelaku politik memiliki akhlak, dan bermoral. Maka dari itu islam tidak bisa dipisah dengan ekonomi, islam tidak bisa dipisah dalam urusan rumah tangga, bahkan islam tidak bisa dipisahkan dengan politik. Karena islam diturunkan untuk petunjuk kehidupan manusia. Agar mereka semua berakhlak al-qur’an.

Umat islam sangat berhati-hati dalam memilih pemimpin, bukan karena kepentingan suatu kelompok dan hanya untuk meraup keuntungan pada golongan tertentu saja, melainkan para ulama yang mengajak kepada umat islam untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam kitab suci al-quran. Karena jika pemimpin yang dipilih tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam dan suatu Negara dipimpin oleh orang yang tidak meiliki kapasitasnya sebagai pemimpin negeri, sehingga kepercayaan pada masyarakat sudah hilang, maka negara itu akan hancur. Jangan sembarangan mengangkat seorang ketua atau kepada negara, pilihlah orang yang layak untuk memegang amanah ini. Sebagai mana sabda Rasulullah Saw dalam hadist berikut:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (HR. Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Ulama dan umro adalah navigasi bangsa yang mampu menjadi petunjuk dan pembentuk paradigma masyarakat yang berkemajuan. Keutuhan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia adalah warisan dari para pendiri bangsa Indonesia, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat adalah cita-cita luhur bangsa Indonesia. Maka sangatlah berdosa jika para tokoh politik dan para pemuka agama tidak menjadi pencerah dan pelopor persatuan di tengah keruhnya kehidupan masyarakat dan carut-marutnya tatanan Negara, yang mengakibatkan perpecahan antar golongan  umat beragama, ras dan suku. Ulama dan umaro harus mengambil peran sebagai pendidik bangsa, belajar dari sejarah untuk mengambil sebuah pelajaran, agar terwujudnya cita-cita luhur bangsa kita dapat belajar dengan Negara maju dan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia, kita juga perlu mempelajari sejarah dari berbagai bahaya laten yang pernah melanda pada suatu negera tertentu yang menimbulkan perpecahan.

Sebuah sejarah yang menerangkan asal mula dari munculnya paham liberalisme di Negara barat adalah karena traumatis dengan ajaran agamanya sendiri. Mereka merasa tertekan dengan aturan-aturan agamanya sendiri. Bahkan dalam sejarahnya, ada yang pernah dieksekusi dijerumuskan ke dalam kandang harimau untuk dijadikan santapannya, yang mana harimau yang disiapkan yaitu harimau yang tidak makan dalam 3 hari. Mereka trauma dengan kitab-kitabnya yang sudah banyak dirubah, dan juga sebagian dari mereka trauma dengan sosok yesus, karena alasan yang tidak jelas dan meragukan. Sehingga tumbuhlah aliran baru yakni librarisme, liberalisme adalah sebuah aliran yang mengedepankan sebuah kebebasan berpikir, karena bagi mereka kebebasan adalah hak manusia, mereka ingin bebas dari asuhan agama. Dan setelah itu tumbuhlah aliran sekularisme, yang berarti agama tidak mengatur kehidupan manusia. Dalam satu hadis sahih yang diriwayatkan Aisyah radiyallāhu ‘anha bahwa Rasulullah SAW selalu berdoa: “Ya Allah ya Tuhanku, barangsiapa yang memerintah urusan umatku, kemudian ia mempersulit mereka maka persulitlah dia, dan barangsiapa yang memerintah umatku, kemudian ia lemah lembut kepada mereka, maka kasihanilah dia”.  (HR. Muslim-4826).

Paham liberalisme yang telah diterangkan di atas, merupakan bahaya laten yang dapat mengancam keutuhan bagi kesatuan negara republik Indonesia (NKRI). Maka para ulama perlu menyampaikan kebenaran tersebut kepada masyarakat untuk menjauhi dan mewaspadainya, juga bagi para pemimpin Negeri perlu mengambil peran dalam mendeteksi dan meredam berkembangnya paham liberalisme di Indonesia. Agar paham yang menganut kebabasan yang berpotensi merusak krukunan umat beragama di Indonesia yang telah lama dapat hidup secara berdampingan.

Para ulama mengambil peran sebagai pendakwah yang bertugas untuk mengajak umatnya ke jalan yang benar sesuai dengan tuntunan agama. Semua lapisan kehidupan jika berlandaskan moral dan akhlak yang mulia sesuai dengan pedoman al-quran dan hadist, maka akan terwujud sebuah keadilan dan kesejahteraan di masyarakat Indonesia. Dakwah adalah sebuah kewajiban, para ulama bertugas untuk membumikan ayat-ayat Allah dan mendidik generasi muda sebagai penerus pemimpin bangsa, maka jiwa perjuangan dan keikhlasan perlu diajarkan kepada mereka, agar napas perjuangan mereka tanpa pamrih serta totalitas dalam mengbdikan diri meraka untuk kemajuan Negera dan menghidupkan Agama sampai ke pelosok daerah.

Jika keimanan para generasi muda kokoh, melakukan dakwah secara ikhlas yang mengacu pada prinsip ikhlas yaitu menghilangkan semua kata “karena” di setiap pekerjaan, dan cukup sisakan satu kata karena yaitu, “karena Allah”. Berjuang dan berdakwah bukan karena mencari populitas, dan juga bukan untuk naik daun. Orang yang berdakwah karena ingin dipuji itu bohong, walaupun karena takut dipuji itu juga berarti tidak ikhlas. Jadi kuncinya adalah tidak minta dipuji, dan tidak takut dibenci. Pesan untuk para generasi muda yang hendak membuat pembaharuan dalam agama, maka bangkitkanlah kembali ajaran-ajaran agama yang sudah hilang, seperti budaya halaqoh pendalaman alquan di setiap majelis-majelis ilmu yang biasa dilakukan di setiap seusai shalat maghrib. Jangan sampai pembaharuan yang dilakukan di Negara barat, yaitu menyesuaikan agama dengan perkembangan manusia, dan sekarang sudah terjadi perubahan peradaban yang sudah sangat jauh. Akan tetapi dalam islam itu berbeda, kita harus menghidupkan kembali nilai- nilai agama yang sudah tergusur, dan dibangkitkan kembali. itulah yang dimaksud dengan pembaharuan agama dalam ajaran Islam.

Mengenal lebih dalam Karomah Para Wali melalui Peringatan Haul Tuan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani.

Peringatan Haul Tuan Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sudah menjadi tradisi tahunan yang biasa digelar di setiap pondok pesantren, majlis ta’lim bahkan masyarakat umum. Peringatan haul tuan syekh abdul qodir itu sendiri bagi umat Islam di Indonesia, khususnya di pulau jawa telah menjadi suatu budaya, yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan haul tuan syekh abdul qodir itu menambah khazanah pengetahuan kebudayaan dan memperkaya kearifan lokal di tanah air republik Indonesia.

Umat Islam Indonesia khususnya yang menganut aqidah ahlu sunnah wal jamaah meyakini bahwa setiap wali Allah selalu memiliki karomah/keistimewaan. Yang mana karena kesucian hamba Allah yang diberikan keistimewaan tersebut diyakini dekat dengan Allah Swt, terlalu pajang jika menceritakan kisah perjalanan hidup sang sultonul auliya/rajanya para wali ini, yaitu syekh abdul qodir al-jaelani jika diceritakan pada tulisan ini, akan tetapi penulis hanya ingin menuangkan beberapa nilai yang terkandung pada pelaksanaan peringatan haul tuan syekh abdul qadir al-jailani yang biasa digelar setiap tahunnya serta menjawab berbagai tudingan sesat terhadap jamaah yang mengikuti peringatan haul tuan syekh abdul qodir al-jaelani.

Berbagai rentetan kegiatan yang digelar pada peringatan haul tuan syekh abdul qodir al-jaelani diantaranya yaitu, tawasul, istigotsah, pembacaan manaqib syekh abdul qodir al-jaelani, dan doa bersama. Tawasul sendiri makna aslinya adalah mendekatkan diri. Hal ini seperti dalam At-Thabari: “saya bertawasul kepada si fulan,”maka maknanya ‘saya mendekatkan diri kepada si fulan’. Sementara ibn katsir mengartikan tawasul sebagai sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Dari keterangan di atas, bahwa maksud dari tawasul disini adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui pelantara Wali Allah, karena penganut aqidah ahlus sunnah meyakini bahwa doa yang dipanjatkan melalui wasilahnya para Wali Allah akan mudah dikabulkan, terkadang ada dari beberapa golongan lain yang menganggap bahwa bertawasul adalah hal sesat dan menyekutukan Allah, karena memohon kepada selain Allah. Dari segi makna pun sudah jelas bahwa tawasul dapat diartikan sebagai pelantara.

Dalam acara peringatan haul syekh abdul qodir juga terdapat pembacaan manaqib syekh abdul qodir al-jaelani, secara etimologis, kata ‘Manaqib’ merupakan jamak dari kalimah isim, ‘manqobah’ yang mempunyai banyak makna, diantaranya: dinding, lorong di antara dua rumah, kebajikan atau perbuatan terpuji, dan sifat yang terpuji. dari beragam makna dari kata manaqib tersebut, maka ‘manaqib’ dalam konteks manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani ini adalah kisah tentang kebajikan dan sifat yang sangat terpuji. maksudnya adalah bahwa manaqib syekh abdul qodir ini merupakan upaya untuk menuturkan atau mengisahkan tentang kebajikan, sifat dan amaliah terpuji syekh abdul qodir al-jaelani.

Terdapat dua nilai di balik tradisi pembacaan manaqib, pertama nilai moral-intelektual yang terkandung dalam kitab manaqib syekh abdul qodir, nilai moral dan intelektual yang terkandung dalam kitab manaqib syekh abdul qodir adalah menelaah sebuah sejarah dari orang-orang sholeh, yang mana dengan membaca dan mempelajari kisah perjalanan kehidupan dari orang sholeh, salah satunya yaitu syekh abdul qodir yang diyakini sebagai rajanya para wali Allah, tentu memberikan pelajaran bagi umat  islam yang membacanya dan dapat menambah khazanah keilmuan dari aspek sejarah serta dapat dijadikan nilai moral bagi pengamal dan pengikut jalan hidup para wali Allah. Hal ini selaras dengan hadist Nabi Muhammad Saw: “mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang saleh adalah kafarat (penghapus dosa), mengingat kematian adalah shadaqoh dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga.”(HR. Ad-Dailami)

Lebih lanjut Habib Umar Muthohhar dalam sebuah ceramahnya menyatakan bahwa kisah para wali, orang saleh dan para ulama akan menjadi tentara untuk membuka hati kita. Di balik kisah para orang saleh dan ulama, sambung habib umar, terdapat hikmah yang dapat dipetik, bermanfaat sebagai obat hati yang gundah, sumber keceriaan, dan penyejuk jiwa. Jadi keteladanan orang-orang saleh terdahulu, yang dikenal kesalehannya merupakan sumber kekuatan untuk membangkitkan hati, khususnya ketika kondisi seseorang sedang terpuruk.

Alawi al-Haddad menegaskan dalam sebuah pernyataannya, “ketahuilah! Seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugerah, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di depan para wali, di majlis-majlis dan kumpulan mereka, baik yang masih hidup atau pun sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka”.

Nilai kedua dari tradisi pembacaan manaqib syekh abdul qodir yaitu mengandung nilai spiritual. Pembacaan manaqib ini sebenarnya merupakan jenis tawasul kepada syekh abdul qodir, supaya melalui perantara Syekh Abdul Qadir itu, doa-doa kita dikabulkan oleh Allah Swt. Dengan membaca manaqib menunjukkan kita mencintai Syekh Abdul Qadir. Cinta kita kepada Syekh Abdul Qadir yang ditunjukkan melalui pembacaan manaqib itu merupakan wasilah bagi kita untuk mencapai rahmat dan kasih sayang Allah. Jadi yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tawasul itu bukan untuk meminta kepada orang yang kita tawasuli melainkan sekedar menjadikan orang itu sebagai wasilah /perantara kita untuk menuju Allah. Karenanya yang menjadi tujuan utama dalam tawasul itu tiada lain adalah Allah, bukan sosok yang kita jadikan sebagai perantara.

Dalam kitab manaqib syekh abdul qadir yang banyak ditulis oleh beberapa ulama di Nusantara, salah satunya yaitu kitab jauharul ma’ani yang disusun oleh KH. Jauhari Umar. Ada pertanyaan yang diutarakan oleh seseorang yang kontra terhadap keabsahan cerita supranatural syekh abdul qadir bahwa kisahnya yang ditulis terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. KH. Mustofa Bisri menjawab pertanyaan dari orang tersebut, bahwa jika mempertanyakan cerita-cerita yang dianggap tidak masuk akal, sebaiknya jangan berhenti sampai pada kisah syekh abdul qadir al-jailani, tetapi teruskanlah! Misalnya, cerita sahabat Umar bin Khattab berkirim surat kepada Sungai Nil, sahabat umar bin Khattab emberi komando dari madinah kepada prajurit-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari madinah. Cerita tentang Isra Mikraj, tentang tongkat menjadi ular, cerita tentang gunung yang pecah, kemudian keluar unta yang besar dan sedang bunting, cerita tentang Nabi Isa yang menghidupkan orang yang sudah mati. Nabi sulaiman dibuat menjadi bisa oleh Allah untuk memindahkan Arsy Balqis dalam QS. An-Naml, [27]:40: “berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala sulaiman melihat singgasananitu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencobaku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Ku). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya Dia bersyukur untuk kebaikan diri sendiri dan barangsiapa yang imgkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia. Ayat tersebut menunjukan bahwa manusia selain Nabi Muhammad Saw mampu menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal, maka hal demikianlah yang disebut dengan karomah para Wali Allah begitu juga karomah yang dimiliki oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani sebagai rajanya para wali. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.

Dan salah satu rentetan acara dalam peringatan haul tuan syekh abdul qadir adalah doa bersama, maka munculah pertanyaan yang dialamtkan kepada mazhab yang selalu bertawasul dalam memanjatkan doanya. Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah secara langsung atau dengan perantara (tawasul)?. Maka KH. Mustofa Bisri memberikan jawaban yang sederhana, ia menjawab, “Langsung boleh. Dengan perantara pun boleh. Sebab Allah Ta’ala Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Kamu Jangan mengira bahwa tawasul kepada Allah melalui Nabi-nabi, wali-wali itu sama dengan kamu memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantara kepala kantor atau atasan kamu. Pengertian tawasul yang demikian itu tidak benar, sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga di samping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, kamu juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawasul kepada Allah tidak seperti itu! Sebagai analogi berdoa menggunakan cara tawasul melalui nabi-nabi dan wali-wali adalah seperti orang membaca al-quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al-quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten Tentang Pondok Pesantren

Meninjau Perkembangan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Banten tentang Pondok Pesantren

Terkait tentang pengakuan dan apresiasi terhadap pondok pesantren yang telah menjadi harapan sebagaimana telah disebutkan di atas, kru El-Ahsan sebagai lembaga media pondok Daarul Ahsan mewawancarai secara langsung tentang perkembangan rancangan peraturan daerah (Raperda) Pondok Pesantren di Provinsi Banten bersama anggota komisi V DPRD Provinsi Banten Bapak H. Agus Supriatna, S.H., M.H., M.Si di kediaman beliau.

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah lama berdiri jauh sebelum Negara Indonesia merdeka. Lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Rahmatan Lil Alamin, kerendahan hati, kesederhanaan, keseimbangan hidup, taat kepada Allah Swt, dan akhlak terpuji. Maka dari semua jasa yang telah ditorehkan oleh lembaga pendidikan pondok pesantren di Indonesia, sudah sepatutnya pemerintah memberikan apresiasi atau pengakuan atas jasa dan eksistensinya terhadap kiprah serta perjuangan pondok pesantren yang telah ikhlas mendidik generasi bangsa demi terciptanya tatanan kehidupan yang baik dan beradab.

Ia menjelaskan bahwa Raperda pondok pesantren sebelumnya sudah dibahas oleh anggota DPRD Provinsi Banten periode 2014-2019. Dan saat ini, anggota DPRD Provinsi Banten periode 2019-2024 tengah melanjutkan terkait pembahasan Raperda yang sebelumnya telah dibahas dan digodok. Tim Majalah El-Ahsan menanyakan terkait persoalan yang menjadi hambatan Raperda pondok pesantren untuk segera disahkan menjadi Peraturan Daerah di Provinsi Banten, sebagaimana yang telah diterapkan di Provinsi DKI Jakarta. Dalam keterangannya, ia menjelaskan bahwa kesulitan anggota legislatif provinsi Banten yaitu dalam hal pendataan lembaga pondok pesantren, sebab 80% pondok pesantren yang berdiri di wilayah Banten merupakan pondok pesantren berbasis salafi, yang mana pondok pesantren salafi dominan tidak terdaftar atau tercatat di lembaga Negara, baik itu di wilayah Kementrian Agama, maupun di kementrian pendidikan Republik Indonesia. Selain itu, menjamurnya lembaga pendidikan pondok pesantren yang baru dibangun di setiap pelosok di wilayah Banten, menjadi salah satu hambatan anggota legislatif dalam mengesahkan Raperda pondok Pesantren, karena  untuk mewujudkan keadilan yang merata dengan hadirnya Perda pondok Pesantren di Provinsi Banten, maka diperlukan sebuah data yang akurat dan valid, agar penjaminan pondok pesantren yang tercantum pada peraturan daerah terutama yang berkaitan dengan bantuan dana pembangunan dapat disalurkan secara efektif dan merata.

Secara spesifik, beliau menerangkan asal mula hadirnya pemikiran untuk merumuskan sebuah rancangan peraturan daerah (Raperda) pondok pesantren di Provinsi Banten. Berawal dari disahkannya Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang pondok pesantren, yang mana buah pemikiran tersebut merupakan sebuah kesepakatan bersama dengan melibatkan pihak yang mewakili komunitas pesantren, yang masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan pesantren. Landasan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren, yaitu untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi kepada pesantren berdasarkan tradisi dan kekhasannya. Oleh karena itu diperlukan Undang-undang yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan pesantren yang dapat memberikan rekognisi terhadap kekhasannya, sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangnya.

Kemudian dalam menyambut baik undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang pondok pesantren yang telah disahkan oleh DPR RI, lanjut beliau. Maka anggota DPRD Provinsi Banten berinisiatif untuk merumuskan suatu Raperda pondok pesantren di provinsi Banten sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 yang dapat dijadikan sebagai payung hukum. Landasan awal lahirnya pemikiran untuk merancang sebuah peraturan daerah tentang pondok pesantren, karena wilayah Banten yang dikenal dengan kota santri serta bayaknya pondok pesantren yang berdiri di provinsi Banten, maka anggota DPRD Provinsi Banten terdorong untuk merumuskan dan membahas tentang Raperda pondok pesantren di Provinsi Banten. Tujuan dari Raperda pesantren ini untuk menguatkan pendidikan pesantren dan menjamin pembangunan pesantren setiap tahunnya, yang mana anggaran yang diusulkan oleh anggota DPRD Provinsi Banten sebesar Rp. 150.000.000 untuk penjaminan pendidikan pondok pesantren, baik pondok pesantren berbasis modren ataupun pondok pesantren berbasis salafi.

Tujuan dari Undang-undang dan Perda tentang pesantren adalah untuk menguatkan posisi pondok pesantren bukan melemahkan, agar pemerintah daerah peduli  terhadap pondok pesantren, pelaksanaannya lebih mudah, dan bisa diterapkan di berbagai daerah, karena di setiap daerah memiki karakteristik yang berbeda -beda, dengan adanya perbedaan tersebut dibutuhkan penyeragaman proses untuk peningkatan kualitas antara pondok yang berbasis tradisional (salafi) dan berbasis modern. Dan dengan adanya peraturan daerah tersebut, maka setiap aktivitas yang dilaksanakan oleh pondok pesantren memiliki payung hukum yang lebih kuat. Apabila pemerintah tidak memedulikan pondok pesantren, berarti pemerintah tersebut melanggar peraturan daerah sendiri. ‘ungkapnya’

Dalam menutup perbincangannya, beliau mengajak kepada seluruh masyarakat, terutama para pimpinan pondok pesantren, khususnya pesantren di provinsi Banten, untuk bersama-sama mendukung dan mengawal keberlangsungan proses Raperda pesantren agar dapat segera disahkan menjadi Perda di Provinsi Banten. Sebagai anggota legislatif yang memiliki tiga tugas dan peran yaitu pengawasan atas pembinaan atau pelaksanaan terhadap pemerintah kepada pesantren, menyusun anggaran, dan sebagai legislator. yang dimaksud legislator adalah yang membuat peraturan daerah. Dan  Tugas pemerintah daerah melakukan pembinaan, meningkatkan kapasitas dan kualitas pesantren. Maka sikap saling mendukung dan gotong royong adalah kunci kemajuan suatu daerah.